Friday, January 25, 2013

Renungan, Kau tiba bersamanya

Duduk bersandar di pintu masjid, memandangi lapangan yang sedang dalam aktivitas. Yahh... Langit sedang mendung sore ini, dan mulai membawa rasa dalam balutannya. Pandanganku beralih, seorang adik kelas duduk di belakangku, adik kelas yang telah menarik perhatianku sejak pertama kali aku melihatnya. Sedikit terkejut ketika adik ini memilih untuk duduk di dekatku saat menunggu pinjaman mukenah daripada berkumpul dengan teman lainnya yang juga sedang menunggu antrian mukenah masjid.

Nunggu, mukenah ya ?” tanyaku memulai pembicaraan.
Iya mbak, nunggu mukenahnya masjid” jawabnya lembut.
Tadi kenapa nangis dek ?” tanyaku penasaran.
Lhoo… Mbak tau aku nangis tadi ?” jawabnya spontan.

Selagi dia menunggu mukenah dan aku yang juga sedang menunggu jemputan pulang. Baru pertama kali ini aku bisa berbincang dengannya dengan suasana yang tidak disengaja, dengan keadaan yang begitu saja terjadi namun tetap terdapat hikmah yang hinggap dalam jiwa. Aku tidak menyangka ketika dia begitu saja membuka diri, bercerita apa yang sedang dia rasakan hari ini dan aku merasa sangat bersyukur dia mamu bercerita padaku. Duhur tadi, aku menemuinya dalam keadaan terduduk di shaf shalat kedua, dia tidak memakai mukenah hanya terduduk dan tertunduk sedang meremat-remat tangannya. Penasaran untuk terus memperhatikannya, saat aku hendak selesai melipat mukenah, ku termenung sejenak, melihat bulir air mata mengalir perlahan dari matanya yang memancarkan pertanyaan. Melihatnya dalam keadaan seperti itu, aku hanya mampu menepuk pundaknya saat aku harus melewatinya.

Kini, pembicaraan yang untuk kedua kalinya membuat ku kagum padanya, memang belum banyak penilaian yang bisa ku beri angka bagus untuknya lantaran aku yang juga jarang berkomunikasi dengannya. Lagi ia bercerita soal “Aku masih sulit menemukan jati diriku mbak”, kalimat yang begitu polos mengalir dalam lisannya. Dia bagai alarm yang tak ku duga karena setiap ucapannya seperti pertanyaan yang dilemparkan untukku. MENEMUKAN JATI DIRI ?????. Apakah aku sendiri sudah menemukan jati diriku ?????. Dan setiap ia lontarkan kalimat itu adalah nilai lebih untuknya.

Jadi tadi itu kamu belum sholat toh dek ?” tanyaku ulang.
Belum mbak, tadi aku perenungan dulu baru sholat, soalnya gak enak kalo sholat sambil perenungan mbak” jawabnya jelas.

Perenungan sebelum shalat ? Dia melakukannya dengan titihan air mata, dengan kesungguhan, dengan mengharap. Dialah adik kelas yang pertama kali ku temui dengan keadaan bersungguh-sungguh, bukan berarti aku menganggap lainnya tidak bersungguh-sungguh dalam mencari jati dirinya. Tapi, dia berbeda, adik kelas ku yang satu ini, dia bersungguh-sungguh mencari jalan dengan cahaya yang dia harap tiada akan redup. Ohh… dek, kau seperti diriku dibeberapa tahun yang lalu. Yang tengah dalam pencarian. Aku iri padanya. Apa yang dia lakukan tidak ku lakukan, aku tau pasti dia jalani hari-harinya di sekolah dengan sungguh-sungguh dengan semangat pencarian itu. Dia bukan seorang remaja yang mudah menyerah, itulah yang ku baca dari setiap perilakunya yang ku dapati. Adik kelasku ini, dia tetaplah seorang gadis remaja, yang juga mengalami hal percintaan, hal yang selalu menjadi raja disetiap hati gadis saat merasakan rasa itu. Rasa yang begitu menggelora, dua kali mampu membakar semangat menjadi lebih dari semangat. Nilai lebih yang mendukung, dia mampu mengendalikan perasaannya soal percintaan, walau dia juga masih labil tapi dia masih mampu berpikir jernih dan berani bersikap serta mengambil keputusan. Dia seperti peri kecil dalam perjalanan...

Hikmah yang hinggap setelah pembicaraan kami usai adalah Perenungan. Apa arti perenungan itu ? terus menerus dilakukan untuk mencari jawaban, untuk introspeksi diri. Perenungan, hanya diri masing-masing yang tau apa sesungguhnya perenungan itu. Perenungan juga bermacam-macam, tergantung bagaimana individu itu memahami, menguraikan dan mengaplikasikan perenungannya. Dia seperti kaca yang bersinar di balik dunia nyata, yang kembali mengingatkan melalui kepolosannya, melalui kelembutan suaranya dalam menguraikan dengan sungguh, melalui tatapan matanya yang masih belum terwarnai oleh rona warna kehidupan yang meliuk ini. Kepolosan seseorang yang juga bisa menjadi bahan renungan bagiku, dengan kepolosan yakni dengan jiwa yang masih belum ternoda oleh prasangka-prasangka negative. Rasanya sikap polos itu murni dan harus di rasakan kembali bagi jiwa-jiwa yang telah dewasa melalui usianya, karena dengan kepolosan itulah ujian kehidupan dapat terjawab satu per satu, karena dalam kepolosan hanya ada Allah yang menguasai jiwa, hanya Allah yang menentukan. Tapi, dasar manusianya… terkadang usia yang sudah terlampaui menjadi ukuran bagaimana seseorang itu berhasil dalam menyelesaikan urusan kehidupannya lalu merasa jiwa sendirilah yang mampu menyelesaikan urusan kehidupan seolah-olah tak butuh campur tangan Sang Kuasa. Padahal jelas, banyak diluar sana anak-anak jalanan yang masih usia dini tapi mereka sudah berhasil menjalani hidup sendiri, bahkan sampai membiayai hidup orang tua atau saudara mereka. 

Terimakasih dek, yang telah menjadi renunganku atas kepolosanmu yang begitu ikhlas kau bagi padaku, bersyukur ku sapat menangkap hikmah yang kau bawa bersama ragamu yang bersinar oleh keluguanmu. Pertanyaanmu adalah pertanyaan juga untukku dek.


No comments:

Post a Comment