Terdengar riuh suara
pengamen remaja yang bernyanyi ria bersama ketiga temannya dengan alat music
yang mereka gunakan masing-masing. Suara gendang, gitar, kentrung (gitar
kecil), dan juga ecek-ecek. Dengan wajah-wajah legam ada yang tertutup oleh
topi namun ada juga yang tertutup oleh rambut atau ponni panjang yang mereka
sengaja untuk di panjangkan. Namun ditengah-tengah wajah-wajah yang legam itu
tampak salah satu dari mereka, pengamen remaja itu memiliki mata yang lebar dan
bulat. Seperti hanya matanya saja yang terlihat bersorot, dengan segala
keberanian aku berjalan mendekati mereka dengan tangan kanan ku yang hanya
menggenggam erat uang koin silver Rp500,-. Aku tak berlama melihat mata yang
berbeda itu, hanya sekilas saja dan segera ku alihkan penglihatan ku menuju 2
tangan dari 2 orang pengamen itu yang bersamaan menyogohkan tangannya kepadaku
namun kepada salah satu tangan itu aku letakkan uang koin itu. Dan ketika aku
berbalik untuk kembali masuk ke rumah salah satu dari pengamen itu menyebut
nama di punggung baju ku , “SONYA”. Sangat jelas ia memanggil ku, dan aku tak
berani untuk menoleh kepala berbalik melihat siapa yang telah membaca nama di
baju ku.
Jika ku ingat kembali
raut wajah mereka, ketika aku memberikan mereka hanya uang koin, Nampak wajah
mereka yang kecewa. Bagaimana tidak, mereka telah ramai bernyanyi dengan alat
music masing-masing, tiba-tiba hanya di bayar dengan dengan uang koin.
Mereka yang mungkin
empat sekawan yang tak sengaja terlahir dan bertemu di tengah kehidupan ekonomi
serba kekurangan, mereka yang mungkin sudah berjalan keliling komplek di
perumahan ini, mereka yang mungkin sudah mengamen dari bis kota satu ke bis
kota lainnya, mereka yang mungkin pakaiannya sudah pekat oleh keringat karena
terik dan panasnya cuaca jalanan kota. Hingga mungkin perut mereka yang hanya
di labuhkan pada warung-warung kecil pinggir jalan dengan membeli sedikit
makanan dan air untuk sedikit membasahi kerongkonan dan mengganjal perut
mereka. Lalu mereka yang mungkin beristirahat di bawah rindang pepohonan kota
sambil menuangkan isi gelas aqua bekas dan bersama-sama menghitung rejeki yang
telah mereka dapat. Merasa masih kurang mereka lanjuti menyusuri hari demi hari
dengan bernyanyi di tempat-tempat umum.
Tapi, apa yang mereka
pikirkan ??? “Hmm.. pengamen lagi”. Mereka yang mempunyai pekerjaan tetap dan
merasa mampu berkehidupan lebih baik ketimbang pengamen jalan itu, sama sekali
tidak peduli pada mereka. Dan mengannggap pengamen sebagai wabah yang
merugikan, hingga orang-orang mampu itu hanya memberikan raut wajah acuh, tak
memberi respon yang baik. Seperti menganggap pengamen itu tidak pernah ada dan
tidak pernah bernyanyi di depan mereka. Namun, para pengamen tetap tersenyum
dengan nada yang ramah, dengan selalu dibuka oleh perkataan pembuka sebelum
mereka mengamen layaknya seperti orang akan berpidato lalu juga di akhiri
dengan perkataan penutup dengan baik pula. Sampai seperti itu para pengamen
menghormati orang-orang yang lebih mampu dan menyadari diri mereka sendiri yang
tergolong orang tak mampu maka penghormatan dan kesopanan yang mereka suguhkan
untuk orang-orang mampu. Sungguh sangat disayangkan orang-orang mampu itu tidak
pernah menyadari akan sikap perilaku yang selama ini para pengamen lakukan.
Berbagai kejahatan mental
dan fisik telah sering mereka rasakan, dan semua itulah yang membuat mereka
tetap bertahan menapaki hari-hari kehidupan ini demi membasahi kerongkongan
mereka, demi mengisi perut kosong mereka, demi memberikan penghidupan untuk
keluarga mereka.