Duduk
bersandar di pintu masjid, memandangi lapangan yang sedang dalam aktivitas.
Yahh... Langit sedang mendung sore ini, dan mulai membawa rasa dalam balutannya.
Pandanganku beralih, seorang adik kelas duduk di belakangku, adik kelas yang
telah menarik perhatianku sejak pertama kali aku melihatnya. Sedikit terkejut
ketika adik ini memilih untuk duduk di dekatku saat menunggu pinjaman mukenah
daripada berkumpul dengan teman lainnya yang juga sedang menunggu antrian
mukenah masjid.
“Nunggu,
mukenah ya ?” tanyaku memulai pembicaraan.
“Iya
mbak, nunggu mukenahnya masjid” jawabnya lembut.
“Tadi
kenapa nangis dek ?” tanyaku penasaran.
“Lhoo…
Mbak tau aku nangis tadi ?” jawabnya spontan.
Selagi
dia menunggu mukenah dan aku yang juga sedang menunggu jemputan pulang. Baru
pertama kali ini aku bisa berbincang dengannya dengan suasana yang tidak
disengaja, dengan keadaan yang begitu saja terjadi namun tetap terdapat hikmah
yang hinggap dalam jiwa. Aku tidak menyangka ketika dia begitu saja membuka
diri, bercerita apa yang sedang dia rasakan hari ini dan aku merasa sangat
bersyukur dia mamu bercerita padaku. Duhur tadi, aku menemuinya dalam keadaan
terduduk di shaf shalat kedua, dia tidak memakai mukenah hanya terduduk dan
tertunduk sedang meremat-remat tangannya. Penasaran untuk
terus memperhatikannya, saat aku hendak selesai melipat mukenah, ku termenung
sejenak, melihat bulir air mata mengalir perlahan dari matanya
yang memancarkan pertanyaan. Melihatnya dalam keadaan seperti itu, aku hanya
mampu menepuk pundaknya saat aku harus melewatinya.
Kini, pembicaraan
yang untuk kedua kalinya membuat ku kagum padanya, memang belum banyak
penilaian yang bisa ku beri angka bagus untuknya lantaran aku yang juga jarang
berkomunikasi dengannya. Lagi ia bercerita soal “Aku masih sulit menemukan jati
diriku mbak”, kalimat yang begitu polos mengalir dalam lisannya. Dia bagai
alarm yang tak ku duga karena setiap ucapannya seperti pertanyaan yang
dilemparkan untukku. MENEMUKAN JATI DIRI ?????. Apakah aku sendiri sudah
menemukan jati diriku ?????. Dan setiap ia lontarkan kalimat itu adalah nilai lebih untuknya.
“Jadi
tadi itu kamu belum sholat toh dek ?” tanyaku ulang.
“Belum
mbak, tadi aku perenungan dulu baru sholat, soalnya gak enak kalo sholat sambil
perenungan mbak” jawabnya jelas.
Perenungan
sebelum shalat ? Dia melakukannya dengan titihan air mata, dengan kesungguhan,
dengan mengharap. Dialah adik kelas yang pertama kali ku temui dengan keadaan
bersungguh-sungguh, bukan berarti aku menganggap lainnya tidak
bersungguh-sungguh dalam mencari jati dirinya. Tapi, dia berbeda, adik kelas ku
yang satu ini, dia bersungguh-sungguh mencari jalan
dengan cahaya yang dia harap tiada akan redup. Ohh… dek, kau seperti diriku dibeberapa
tahun yang lalu. Yang tengah dalam pencarian. Aku iri padanya. Apa yang dia
lakukan tidak ku lakukan, aku tau pasti dia jalani hari-harinya di sekolah
dengan sungguh-sungguh dengan semangat pencarian itu. Dia bukan seorang remaja
yang mudah menyerah, itulah yang ku baca dari setiap perilakunya yang ku
dapati. Adik kelasku ini, dia tetaplah seorang gadis remaja, yang juga
mengalami hal percintaan, hal yang selalu menjadi raja disetiap hati gadis saat
merasakan rasa itu. Rasa yang begitu menggelora, dua kali mampu membakar
semangat menjadi lebih dari semangat. Nilai lebih yang mendukung, dia mampu mengendalikan perasaannya soal percintaan, walau dia juga masih labil tapi dia masih mampu berpikir jernih dan berani bersikap serta mengambil keputusan. Dia seperti peri kecil dalam perjalanan...
Hikmah
yang hinggap setelah pembicaraan kami usai adalah Perenungan. Apa arti
perenungan itu ? terus menerus dilakukan untuk mencari jawaban, untuk
introspeksi diri. Perenungan, hanya diri masing-masing yang tau apa
sesungguhnya perenungan itu. Perenungan juga bermacam-macam, tergantung
bagaimana individu itu memahami, menguraikan dan mengaplikasikan perenungannya. Dia seperti kaca yang bersinar
di balik dunia nyata, yang kembali mengingatkan melalui kepolosannya, melalui
kelembutan suaranya dalam menguraikan dengan sungguh, melalui tatapan matanya
yang masih belum terwarnai oleh rona warna kehidupan yang meliuk ini. Kepolosan
seseorang yang juga bisa menjadi bahan renungan bagiku, dengan kepolosan yakni
dengan jiwa yang masih belum ternoda oleh prasangka-prasangka negative. Rasanya
sikap polos itu murni dan harus di rasakan kembali bagi jiwa-jiwa yang telah
dewasa melalui usianya, karena dengan kepolosan itulah ujian kehidupan dapat
terjawab satu per satu, karena dalam kepolosan hanya ada Allah yang menguasai
jiwa, hanya Allah yang menentukan. Tapi, dasar manusianya… terkadang usia yang
sudah terlampaui menjadi ukuran bagaimana seseorang itu berhasil dalam menyelesaikan
urusan kehidupannya lalu merasa jiwa sendirilah yang mampu menyelesaikan urusan kehidupan seolah-olah tak butuh campur tangan Sang Kuasa. Padahal jelas, banyak diluar sana anak-anak jalanan yang
masih usia dini tapi mereka sudah berhasil menjalani hidup sendiri, bahkan
sampai membiayai hidup orang tua atau saudara mereka.
Terimakasih dek, yang telah menjadi renunganku atas kepolosanmu yang begitu ikhlas kau bagi padaku, bersyukur ku sapat menangkap hikmah yang kau bawa bersama ragamu yang bersinar oleh keluguanmu. Pertanyaanmu
adalah pertanyaan juga untukku dek.