Friday, March 16, 2012

Pengamen Malam


Terdengar riuh suara pengamen remaja yang bernyanyi ria bersama ketiga temannya dengan alat music yang mereka gunakan masing-masing. Suara gendang, gitar, kentrung (gitar kecil), dan juga ecek-ecek. Dengan wajah-wajah legam ada yang tertutup oleh topi namun ada juga yang tertutup oleh rambut atau ponni panjang yang mereka sengaja untuk di panjangkan. Namun ditengah-tengah wajah-wajah yang legam itu tampak salah satu dari mereka, pengamen remaja itu memiliki mata yang lebar dan bulat. Seperti hanya matanya saja yang terlihat bersorot, dengan segala keberanian aku berjalan mendekati mereka dengan tangan kanan ku yang hanya menggenggam erat uang koin silver Rp500,-. Aku tak berlama melihat mata yang berbeda itu, hanya sekilas saja dan segera ku alihkan penglihatan ku menuju 2 tangan dari 2 orang pengamen itu yang bersamaan menyogohkan tangannya kepadaku namun kepada salah satu tangan itu aku letakkan uang koin itu. Dan ketika aku berbalik untuk kembali masuk ke rumah salah satu dari pengamen itu menyebut nama di punggung baju ku , “SONYA”. Sangat jelas ia memanggil ku, dan aku tak berani untuk menoleh kepala berbalik melihat siapa yang telah membaca nama di baju ku.

Jika ku ingat kembali raut wajah mereka, ketika aku memberikan mereka hanya uang koin, Nampak wajah mereka yang kecewa. Bagaimana tidak, mereka telah ramai bernyanyi dengan alat music masing-masing, tiba-tiba hanya di bayar dengan dengan uang koin.
Mereka yang mungkin empat sekawan yang tak sengaja terlahir dan bertemu di tengah kehidupan ekonomi serba kekurangan, mereka yang mungkin sudah berjalan keliling komplek di perumahan ini, mereka yang mungkin sudah mengamen dari bis kota satu ke bis kota lainnya, mereka yang mungkin pakaiannya sudah pekat oleh keringat karena terik dan panasnya cuaca jalanan kota. Hingga mungkin perut mereka yang hanya di labuhkan pada warung-warung kecil pinggir jalan dengan membeli sedikit makanan dan air untuk sedikit membasahi kerongkonan dan mengganjal perut mereka. Lalu mereka yang mungkin beristirahat di bawah rindang pepohonan kota sambil menuangkan isi gelas aqua bekas dan bersama-sama menghitung rejeki yang telah mereka dapat. Merasa masih kurang mereka lanjuti menyusuri hari demi hari dengan bernyanyi di tempat-tempat umum.

Tapi, apa yang mereka pikirkan ??? “Hmm.. pengamen lagi”. Mereka yang mempunyai pekerjaan tetap dan merasa mampu berkehidupan lebih baik ketimbang pengamen jalan itu, sama sekali tidak peduli pada mereka. Dan mengannggap pengamen sebagai wabah yang merugikan, hingga orang-orang mampu itu hanya memberikan raut wajah acuh, tak memberi respon yang baik. Seperti menganggap pengamen itu tidak pernah ada dan tidak pernah bernyanyi di depan mereka. Namun, para pengamen tetap tersenyum dengan nada yang ramah, dengan selalu dibuka oleh perkataan pembuka sebelum mereka mengamen layaknya seperti orang akan berpidato lalu juga di akhiri dengan perkataan penutup dengan baik pula. Sampai seperti itu para pengamen menghormati orang-orang yang lebih mampu dan menyadari diri mereka sendiri yang tergolong orang tak mampu maka penghormatan dan kesopanan yang mereka suguhkan untuk orang-orang mampu. Sungguh sangat disayangkan orang-orang mampu itu tidak pernah menyadari akan sikap perilaku yang selama ini para pengamen lakukan.

Berbagai kejahatan mental dan fisik telah sering mereka rasakan, dan semua itulah yang membuat mereka tetap bertahan menapaki hari-hari kehidupan ini demi membasahi kerongkongan mereka, demi mengisi perut kosong mereka, demi memberikan penghidupan untuk keluarga mereka.

No comments:

Post a Comment